Abu H. Mhd. Daud Al-Yusufy : Penyelamat Umat Ketika Konflik Mencekam di Aceh
Abu. Tgk. H. Mhd. Daud Al-Yusufy (Sepenggal Cerita Bersama Abu di Tengah Konflik GAM-RI) Refleksi 15 Tahun Perdamaian Aceh Pagi ...
https://www.tastafi.com/2020/08/abu-h-mhd-daud-al-yusufy-penyelamat.html
Abu. Tgk. H. Mhd. Daud Al-Yusufy
(Sepenggal Cerita Bersama Abu di Tengah Konflik GAM-RI)
Refleksi 15 Tahun Perdamaian Aceh
Pagi itu, tiba-tiba Abu datang dihalaman rumah penulis menggunakan Honda Gren milik Abu, tepatnya awal tahun 2000 ketika penulis masih kelas Baijuri, saya langsung mendekati Abu dan mencium tangannya seraya bertanya “Hoe Neknyang Loet Jak” panggilan akrap penulis kepada Alm.
Abu, yang artinya (Mau Kemana Eyang), kita ke Kota Fajar sebentar, tutur Abu, “Cok Kupiah Jak Pengoen Neknyang Siat” (ambil peci temani Eyang sebentar).
Saya langsung bergegas dan kami pun berangkat menggunakan kreta milik Abu, Abu duduk dibelakang sementara saya menyetir kreta. Diperjalanan Abu menjelaskan tujuan kami ke Kotafajar untuk menjumpai para Tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Baru saya paham kenapa Alm.
Abu mengajak penulis sebagai pedampingnya, karna biasanya Abu punya Khadim kusus yang selalu mendaping Abu pergi, tapi hari itu beliau mengajak penulis, mungkin pertimbangannya karana penulis bahagian dari Keluarga GAM.
Baru sekitar 1 kilo meter berjalan, tepatnya di depan Politeknik (sekarang depan Dayah Terpadu Darul Aitami) desa Gampong Baroe Kecamatan Pasie Raja Aceh Selatan, tiba-tiba ular lewat memotong perjalanan kami.
Secara spontan saya menekan rem secara dadakan, hampir saja kreta terjatuh, tapi saya lihat kaki Abu ikut turun kejalan membantu keseimabnagan kreta kami.
“Pakoen”, Kenapa? Tanya Abu…. Na Uleu, Neknyang (ada ular, eyang sahut saya). Allahu Akhbar ‘Cemas Abu’. Saya mendengar Abu seakan menghitung hari bulan (Uroe Buleun), tapi beliau tidak menjelaskan ke penulis apa.
Tiba-tiba Abu perintahkan saya balik arah dan kembali pulang, “kakeuh tawoe teuma tanyoe” (sudahlah balik, kita kembali pulang saja, tutur Abu).
Seraya penasara dan sedikit keberatan penulis bertanya, (Bah Pakoen Teuma Neknyang), (kenapa pula Eyang), kita lanjut saja, penuh harap saya pada Abu, karna saya merasa bangga dapat mendampingi beliau, momen berharga dan jarang saya dapatkan.
Sudah kita pulang saja, lain kali kita pergi, pinta Abu dengan tegas, dan akirnya kami pun kembali. Setiba di Dayah Babussa’adah Teupin Gajah, saya parkir kereta dan mengembalikan kunci kereta pada Abu, beliau mengambil kunci seraya mengingatkan saya “nyan beuk meurawoh tat beh” (jangan berkeliaran ya) pungkas Abu.
Karna masih merasa kecewa, saya tidak kembali kebilek (asrama santri), tapi kembali pulang kerumah yang tidak berapa jauh dari Kompleks Dayah, setiba dirumah Mak menanyakan saya, kok cepat kali pualang, saya ceritakan perihal di atas sama Mak, lalu Mak menjelaskan sambil tersenyum, karena Abu lebih tau, jadi dari pada bahaya lebih baik pulang, kenapa bahaya, Tanya saya heran.
Biasa “Keun Ureung Tuha” jika ada ular memotong jalan, itu pertanda tidak baik jelas Mak, dan saya mengangguk walau tidak percaya.
Sekitar kurang lebih 1 jam kemudian, terdengar suara ledakan begitu keras, muntahan peluru bertubi-tubi, suasana menajadi pekam, ketakutan dan kecemasan melanda masyakat, orang berlarian masuk kerumah, pintu di tutup semua.
Dalam sekejab keramaian menjadi hening, hanya ada suara peluru yang makin mendekati desa kami, suasana berubah bagaikan kota hantu. Terkadang terdengar suara tangis dan ritihan ketakutan. Saya berlari kencang kembali ke pondok. Karena sudah lazim, jika terjadi kontak senjata, pondok dan Abu adalah pelindung bagi kami.
Tak lama kemudian gumpalan asap menjadi awan hitam, bertanda ada pembakaran dimana-mana.
Saya hanya terduduk lesu di anak tangga bilek, melihat sebuah sumber asab seakan dari lokasi rumah Mak, berusaha tenang dan meyakinkan diri bahwa itu bukan rumah kami.
Hanya doa dan ayat-ayat al-Quran terus terucap dari bibir yang semakin pucat, seraya terus mempersiapkan diri atas takdir yang berlaku, apapun yang terjadi itulah yang terbaik pada ketetapan Allah, untaian doa Mak dan semua keluarga dapat selamat dari petaka yang sedang menimpa.
Suara peluru makin jauh dari desa kami, gumpalan asab sudah berkurang, suara manusia mulai terdengar dengan rintihan tangis dan ratapan.
Saya mencoba melangkah keluar dari kompleks asrama, lahkah pelan dan hati-hati, untuk memastikan apa yang terjadi. Diperjalan pulang penulis melihat orang-orang manadu jenazah dijalan, dipojok lain juga kerumunan manusia manyaksikan mayat yang lain tergeletak, tangisan dan kesedihan menimpa desa kami kala itu.
Setiba dirumah, suara tangis pecah dari Mak, semua ikut menagis memeluk saya, ternyata dugaan saya tepat, rumah kami lenyab dilahap sijago merah, tapi penulis berusaha tenang dan menenangkan Mak, membujuk Mak, semua adalah takdir Allah, jika kita bersabar, kelak Allah gantikan dengan yang lebih baik.
Sejak itu hidup keluarga kami kembali dari Nol, kami terpaksa menumpang dirumah kakek untuk beberapa waktu, tapi kami masih tetab bersykur selamat semua dari insiden tersebut,
Nasehat ABU
Sekitar tiga hari pasca kejadia tersebut, Abu memanggil penulis di Bale Beut tempat Abu mengajar dewan guru (Santri Senior), kami duduk berdua saja, Abu menasehati penulis untuk sabar dan tetap tenang, terus belajar, semua ketetapan Allah ada hikmahnya, kelak Ilmu dan sabar akan menggatikan segalanya, mulai di dunia samapi di akirat, nasehat Abu.
Setelah berdiskusi panjang sama Abu, saya berusaha menanyakan kembali perihal kejadian kami batal melanjutkan perjalan ke Kotafajar karna Ular memotong jalan sebelumnya.
Apakah betul mitos itu Abu? Andai saja kita terus jalan tadi, pasti kita terjebak disana, ungkap saya. Abu menjelaskan panjang lebar, itu hanya keyakinan dan kebiasaan orang tua Aceh, tapi jangan juga terlalu dipercaya, alamat kan belum tentu benar, kadang kala betul dan bisa juga salah, jelas Abu. tapi hari itu firasat Abu memang kurang baik, maka Abu putuskan untuk pulang, jelasnya.
Terus apa rencana Abu jumpai petinggi GAM, Tanya saya lagi. Abu rencana menasehati mereka agar tidak salah mengambil tindakan, perjuangan GAM bagus, karna membela hak Aceh yang terzalimi, tapi jangan gara-gara membela hak, terus melindas asas dan hukum Islam, jelasnya.
Yang dosa tetap dosa, seperti membunuh tampa hak, merampas pada masyarakat dan sebagainya, jelas Abu. jika GAM berjuang sesui syariat maka bagi mereka berpahala, sebaliknya jika tidak mereka akan berdosa dan mempertanggung jawabkan di hadapan Allah.
Saat itu baru saja terdengar kabar ada Ijtihad salah satu Ulama Aceh tetang boleh mengambil hak Masyarakat dan halal membunuh atas nama perjuangan, Abu tidak sepakat dengan fatwa ini, untuk itu Abu meluruskan pada GAM wilayah dimana Abu menjadi Panutan.
Setelah itu penulis tidak mengetahui lagi apakah Abu sempat menyampaikannya pada pihak GAM atau tidak, karna penulis tidak di ajak lagi samapia Aceh menempuh kesepakatan Damai pada tahun 2005 lampau.
Sejak itu Abu sibuk menyelamatkan Umat, Abu berusaha keras membantu menyelamatkan masyarakat dari ancaman konflik Aceh.
Tak hayal kala itu Dayah penuh dengan santri, karena masyarakat berlindung di Dayah Abu, sampai semua ruangan penuh dengan masyarakat karena takut berada di desanya, Ruang dapur umum, bagasi, gudang barang, balee Beut dan semua aula yang ada berubah menjadi Asrama.
Semua masyarakat yang mengungsi dan menetap di Dayah diberi kartu santri selayaknya santri yang mondok oleh Abu. Dayah dan Abu adalah penyelamatan bagi umat. Abu berkomitmen menjaga siapa saja yang sudah di Dayah, dengan berbagai resiko Abu bertanggung jawab pada mereka.
Atas kepeutusan Abu, maka beliau kerab berurusan dan ditegur oleh pihak militer TNI/Polri, terkadang juga dapat peringatan dari pihak GAM, kedua belah pihak kadang kala menekan Abu, tapi karna prinsip dan kebijakannya Abu tetap pada pendiriannya, ia akan melawan pihak mana saja jika mengancam santrinya, karna para santri Abu jadi jaminannya, di kompleks Dayah tidak ada perbedaan, apakah mereka keluarga GAM, atau keluarga Militer, apakah anak PNS, anak Cuak, dan sebagainya dipandang sama oleh Abu.
Karena para santri adalah netral tidak memihak kapada pihak mana pun tugas mereka adalah mengaji bukan ikut terjebak dengan kondisi di luar. Abu mengajarkan kami kedamaian, cinta dan kasih sayang semama.
Untuk itu, dihari Refleksi Ulang Tahun Perdamaian Aceh yang ke-15 ini, kita layak menjebut Abu sebagai juru penyelamat, tokoh yang memberi kedamaian, keselamatan ditengah kondisi yang mencekam.
Abu sosok yang mampu membri warna agar kita tersenyum, ditengah kegelapan Abu menjadi lilin penerang, walau kadang membakar dirinya. Siapa saja kita patut mengapresisi jasa Abu, semoga Abu mendapatkan imbalan atas jasa dan dedikasinya pada umat, dan Allah tempatkan Abu di Sorga yang Tinggi disisi-NYA. Amiin ya Allah Amin….. Afatihah.
Selamat Hari Perdamaian Aceh.
Mari rawat dan kita jaga bersama untuk Aceh yang lebih baik.
15 Agustus 2020.
Penulis : Ayah Ilham